Tugas 2
Individu
Komunikasi Bisnis
Nama : Anik
Anjarwati Liana
Kelas : 4EA38
Contoh Kasus
Bahasa Buruk Para Penulis
UJI Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) yang diselenggarakan Badan
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Badan Bahasa) boleh jadi tidak
terlalu populer di kalangan masyarakat awam, termasuk masyarakat
penulis. Padahal, UKBI dapat menjadi ukuran seberapa mahir seseorang
berbahasa Indonesia dalam konteks formal dan sehari-hari untuk
berkomunikasi. Lagi pula biaya mengikuti UKBI sangatlah murah, tidak
semahal jika seseorang harus mengikuti ujian TOEFL atau IELTS untuk
bahasa Inggris.
Saya sangat menyarankan para penulis mengikuti UKBI ini karena
faktanya masih banyak penulis yang berbahasa Indonesia dengan sangat
buruk. Banyak penulis hanya sebatas bangga sebagai penulis, tetapi
mengabaikan kebanggaannya untuk mampu menggunakan bahasa Indonesia
secara baik dan benar. Meskipun ungkapan “berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar” sudah seperti jargon, tidak banyak pula yang memahami
apa itu itu bahasa yang baik dan bahasa yang benar.
E. Zaenal Arifin dan Farid Hadi dalam bukunya, 1001 Kesalahan Berbahasa Indonesia,
menyebutkan perbedaan antara bahasa yang baik dan bahasa yang benar.
Bahasa Indonesia yang baik ialah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai
dengan norma kemasyarakatan yang berlaku, seperti dalam situasi akrab
obrolan di warung kopi, pasar, atau tempat arisan yang berbeda dengan
situasi resmi seperti dalam rapat pemerintah. Jadi, bahasa Indonesia
yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Adapun bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang
digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Kaidah bahasa Indonesia itu meliputi kaidah pembentukan kata,
penyusunan kalimat, penyusunan paragraf, dan penataan penalaran. Dengan
demikian, sebuah tulisan dinyatakan menggunakan bahasa Indonesia secara
benar jika menerapkan kaidah bahasa Indonesia yang standar, terutama
dalam situasi formal.
Kaidah penggunaan bahasa Indonesia standar telah diperbarui melalui
Permendikbud No. 50 Tahun 2015 yaitu Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia (PUEBI). Tidak banyak yang tahu tentang berlakunya PUEBI ini,
termasuk di kalangan penulis. Hal ini terbukti masih disebut-sebutnya
EYD dalam pembahasan soal bahasa tulis. Pedoman Umum Ejaan Yang
Disempurnakan atau PUEYD sudah tidak berlaku lagi sejak disahkannya
PUEBI. Ada beberapa revisi dan penyempurnaan yang terdapat di dalam
PUEBI jika dibandingkan PUEYD.
Saya sangat yakin bahwa sedikit sekali para penulis Indonesia mau
berpayah-payah untuk mempelajari PUEBI ini karena terbukti dari hasil
tulisan yang masih banyak mengandung kesalahan ejaan, seperti tanda
baca, huruf kapital, dan juga kata-kata tidak baku. Mungkin karena
bahasa Indonesia itu dianggap mudah dan telah dikuasai dengan sangat
baik, para penulis enggan belajar tentang bahasa Indonesia yang terus
berkembang.
PUEBI hanya memuat aturan atau kaidah kebahasaan sebatas ejaan. Para
penulis masih harus mempelajari tata bahasa baku bahasa Indonesia yaitu
bagaimana menggunakan kata-kata berimbuhan dan menyusun kalimat. Semua
itu memang pelik seperti yang pernah dituliskan oleh pakar bahasa
Indonesia, Jus Badudu. Namun, para penulis memikul tanggung jawab untuk
memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
Pada bab hasil dan pembahasan ini lebih mengutamakan penjelasan
hasil data dan informasi yang telah dipilih, kemudian menganalisisnya
secara sistematis, terperinci dan kritis sesuai dengan kerangka
pemikiran penulis dengan menggunakan metoda analisis yang telah
ditentukan sebelumnya, dan selanjutnya menginterpretasikannya.
Apakah Anda dapat menemukan kesalahan berbahasa pada kalimat
tersebut? Pertama, jelas bahwa kalimat tersebut terlalu panjang.
American Press Institute pernah melakukan sebuah riset tentang kalimat.
Banyaknya kata dalam suatu kalimat yang masih dapat dipahami dengan baik
adalah 17 kata. Jika lebih dari 17 kata (dalam satu kalimat), kalimat
itu akan semakin sulit dipahami.
Kedua, kalimat tersebut rancu karena pada kalimat pertama tidak jelas
subjeknya. Selain itu, ada juga penggunaan kata tidak baku.
Pada bab hasil dan pembahasan ini lebih diutamakan penjelasan
hasil data serta informasi yang telah dipilih. Data dan informasi
terpilih itu dianalisis secara sistematis, terperinci, serta kritis
sesuai dengan kerangka pemikiran penulis dengan menggunakan metode
analisis yang telah ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya, penulis
menginterpretasikannya.
Apabila menerima sebuah buku dari seorang penulis, hal pertama yang
saya cermati adalah penggunaan bahasanya. Saya kerap kali menemukan
semangat menggebu dari rekan-rekan penulis itu untuk menghasilkan karya
yang menggugah. Namun, saya tidak menemukan semangatnya yang kuat dan
kukuh untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Faktanya, setiap kali menulis, ia selalu melakukan kesalahan
berbahasa yang berulang. Tidak terjadi kemajuan penting dalam cara
bagaimana ia menggunakan kata-kata, menyusun kalimat, atau menata
paragraf. Setali tiga uang dengan tulisan-tulisan terdahulunya. Artinya,
ia memang terus “memelihara” ketidaktahuannya menggunakan bahasa tulis
secara baik dan benar, entah karena apa.
Pada Bulan Bahasa yang dirayakan setiap Oktober ini, tentu dapat
menjadi momentum bagi para penulis untuk memperbarui pengetahuan dan
keterampilan berbahasa Indonesianya. Mulai saja dari hal-hal kecil
memperbaiki bahasa saat menulis status di media sosial atau pesan-pesan
melalui media rumpi seperti WhatsApp. Jangan abai terhadap penggunaan
tanda baca, penulisan kata-kata baku, ataupun penggunaan huruf kapital
dengan benar.
Jadi, berbeda halnya dengan salah tik atau typographical error
(typo). Salah tik adalah ketidaksengajaan karena terjadi slip jari
dalam pengetikan sehingga tidak ada hubungannya dengan pengetahuan atau
keterampilan berbahasa. Namun, salah tik tetap harus dicermati karena
dalam bahasa Indonesia, salah tik dapat menimbulkan arti baru yang
mungkin dapat berakibat fatal dalam pemaknaan.
Media para penulis untuk menyampaikan pemikiran, perasaan, dan
pengalamannya adalah bahasa—selain gambar tentunya untuk menjelaskan
teks. Karena itu, kekuatan sesungguhnya seorang penulis adalah kemahiran
berbahasa. Ketika ia masih “kedodoran” dalam berbahasa, boleh saja ia
tetap mengaku sebagai penulis. Namun, pengakuan itu ibarat klaim seorang
pendekar tanpa aji.
Sumber :
http://krjogja.com/web/news/read/47624/Bahasa_Buruk_Para_Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar